Kampung Jahit Elsa Maharrani, Karya Ibu Rumah Tangga Menembus Pasar Dunia

Elsa Maharrani sedang menggunakan baju karya Maharrani Hijab | 
Foto: Instagram @elsamaharrani diolah dengan Picsart


Dan kini, karya yang diproduksi oleh tangan-tangan ibu rumah tangga itu, telah digunakan oleh selebriti papan atas Indonesia, berdiri kokoh di berbagai kota di Indonesia, serta mejeng pula hingga ke mancanegara.

Membuka tabir di balik legitnya industri fashion luar negeri yang masuk ke Indonesia

Ilustrasi sampah pakaian | Foto: Goodstats

Pakaian masuk dalam salah satu kebutuhan sandang, yaitu kebutuhan pokok yang wajib ada untuk melindungi tubuh manusia dari panas dan dingin. Dilansir dari uniformmarket.com, pasar pakaian global kini bernilai $1,79 Triliun dan menyumbang 1,6% dari PDB dunia. 

Produk fashion ini kian diminati manakala kebutuhannya yang absolut, terkadang digunakan pula sebagai identitas diri, trendnya yang selalu berubah hingga tidak memiliki batasan kadaluwarsa. Itu artinya, masuk dalam industri fashion memiliki peluang keuntungan yang cukup besar. 

Begitu legitnya pasar fashion, banyak orang yang kemudian berlomba-lomba mencari peruntungan di sana. Mulai dari produsen fashion itu sendiri, menjadi afilliator hingga menjadi reseller makin masif digeluti lintas gender, golongan dan usia. 

Bicara soal fashion atau mode, meminjam bahasa Gen Z, tentu saja sama hypenya dengan di Indonesia. Perkembangannya pesat sekali didukung dengan kreativitas dan inovasi desainer-desainer muda. 

Belum lagi hadirnya e-commerce memudahkan para pelaku dunia mode dalam memasarkan produknya dengan jangkauan yang lebih luas. Konsumenpun sama enaknya. Jika dulu berbelanja pakaian harus ke toko atau ke pasar, kini pembeli bisa mendapatkan pakaian yang diinginkan, mode yang disukai, warna yang sedang dicari, harga yang sesuai dengan dompet sendiri hanya dengan berbelanja online

Sayangnya, kemudahan ini tak hanya soal distribusi produsen fashion di Indonesia, tapi juga membuka pintu distribusi fashion luar negeri masuk ke Bumi Pertiwi seluas-luasnya. 

Biasanya model pakaiannya lebih lucu, pilihannya lebih banyak, harganya pun lebih murah. Tidak heran jika banyak yang memutuskan untuk membeli produk fashion luar negeri alih-alih produk buatan negeri sendiri. 

Sepintas sah-sah saja memang selama mengikuti aturan penjualan yang berlaku di Indonesia termasuk pula pembayaran Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Masalahnya adalah, disadari atau tidak, menjual produk impor ternyata menimbulkan kerugian di berbagai sisi. 

Dari sisi ekonomi misalnya, menjual produk impor akan mengurangi pangsa pasar produk lokal, menimbulkan kerugian pula terhadap industri Tekstil, Pakaian dan Tenun (TPT) nasional, kegiatan impor juga dapat membawa dampak tidak sehat pada perubahan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing yang menyebabkan nilai Rupiah menurun serta dikhawatirkan akan membuat Indonesia terus bergantung pada negara pengimpor. 

Sedangkan dari sisi lingkungan, produk impor memiliki jejak karbon atau emisi gas rumah kaca (GRK) yang lebih tinggi dibandingkan produk lokal karena prosesnya yang lebih panjang mulai dari pembuatan, pengepakan dan pengiriman ke negara tujuan. 

Dan bila produk tersebut sudah selesai masa pakainya atau harus dibuang, maka sampah itu akan menjadi beban pula di tanah air tercinta. Apesnya, dilansir dari goodstats.id, jumlah limbah pakaian yang dihasilkan Indonesia pada tahun 2021 saja sudah mencapai 2,3jt ton. Masa mau ditambah limbah pakaian dari luar negeri lagi? 

Keresahan hati Sang Juragan

Bisa saja fakta-fakta di balik legitnya industri fashion luar negeri yang masuk ke Indonesia inilah yang kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi Elsa Maharrani atau yang sering dipanggil Uni Eca, Juragan dari Simpang Koto Tingga. 

Sebutan ini disematkan manakala ia berhasil menjalankan bisnisnya yang dimulai sejak tahun 2016 silam, yaitu berjualan barang impor dari Tiongkok yang dipasarkan secara daring melalui lokapasar. Banyaknya jumlah penjualanlah yang kemudian membuat warga sekitar memanggilnya "Juragan".

Meski penjualan terbilang memuaskan, hati nurani Elsa terus merasa resah, tergilitik rasa bersalah mengingat kemampuannya dalam mengoperasikan marketplace justeru digunakan untuk mendistribusikan produk dari luar negeri. 

Untung saja, egonya masih bisa diajak negosiasi. 

Elsa yang semula menjual produk luar negeri, beralih menjadi reseller salah satu produk hijab lokal. Lagi-lagi, usahanya berjalan dengan lancar. 

Namun, hatinya kembali tidak nyaman mengingat Gross Domestic Product (GDP) Sumatera Barat yang rendah, sedangkan barang jadi yang bernilai tinggi termasuk yang ia pasarkan adalah kiriman dari Pulau Jawa. Padahal, masyarakat Sumatera Barat sendiri hanya menjual bahan mentah yang bernilai rendah, belum lagi kondisi warga di sekitarnya yang berekonomi rendah akan mengalami kesulitan dalam membeli produk tersebut. 

Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan di balik perubahan ekonomi yang terjadi di Simpang Koto Tingga, sebagian besar masyarakatnya termasuk bagi Elsa sendiri. 

Titik balik pagi-petang dan pengguna narkoba di Simpang Koto Tingga

Elsa Maharrani tinggal di Simpang Koto Tingga, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat. Tempat ini persisnya berada tepat di perbatasan antara kota dan kabupaten Padang. 

Di sana, ada istilah pagi-petang; dapat duit petang, paginya sudah habis. Belum lagi Provinsi Sumatera Barat, dilansir dari portal berita antara.com, menurut Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat, Brigjen Pol Sukria Gaos, sudah menjadi daerah transit untuk peredaran narkoba sejak terjadinya pandemi Covid-19. 

Hal ini terjadi akibat kondisi ekonomi masyarakat yang lemah dan menjadi kurir narkoba adalah salah satu cara cepat dan menjanjikan secara ekonomi karena bayarannya yang terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup para kurir meski dengan risiko yang sangat tinggi. 

Kapolresta Padang Kombes Pol Ferry Harahap lewat RRI menyampaikan bahwa dari Januari hingga Desember 2023, jumlah kasus narkoba yang ditangani polisi di wilayah hukumnya berjumlah 325. Angka ini meningkat dibanding tahun 2022 yang berjumlah 241 kasus atau sekitar 25,8%. 

Elaborasi kondisi yang memprihatikan di lingkungannya serta keresahan hati sang juragan inilah yang kemudian membuka ide dengan konsep Kampung Jahit yang diusulkan oleh sang suami, Fajri Gufran Zainal.

Lalu, elaborasi ini pulalah yang kemudian menjadi titik balik penghasilan pagi-petang bagi masyarakat dan pengguna narkoba di Simpang Koto Tingga menjadi masyarakat berpenghasilan tetap di atas upah minimum regional Kota Padang. 

Kampung Jahit

Berangkat dari kondisi ekonomi warga yang lemah, biang kerok narkoba yang berpotensi merusak lebih banyak orang, keresahan sang juragan akan produk yang dijualnya, kepiawaiannya dalam mengolah e-commerce, kemampuan dalam mengenal kualitas bahan pakaian lewat pengalaman sebelumnya, serta ide cemerlang dari sang suami, di tahun 2019, Elsa memutuskan bergerak mengeksekusi ide, membawa perubahan di tempat tinggalnya dengan menghadirkan Kampung Jahit dengan membawa brand Maharrani Hijab. 

Lewat konsep Kampung Jahit ini, Elsa mengajak warga untuk memproduksi barang sendiri sehingga tidak lagi perlu membeli produk dari kota lain. 

Selain lebih mandiri, langkah ini juga bisa menggelitik hadirnya ide-ide menarik untuk dijadikan karya dan tentu akan memiliki nilai jual pula.

Modal Rp 3jt VS Keraguan

Sebelum jadi Kampung Jahit dengan produk yang mendunia, Elsa sempat ragu dengan keputusannya. Pasalnya, bila bicara dari sisi letak geografis, konsep Kampung Jahit ini memang sepintas sulit untuk direalisasikan.

Penghasilan warga pun tidak begitu besar, dan bila masuk ke dalam pembahasan sumber daya alam, alih-alih bersisian dengan teksil, Sumatera Barat malah lebih terkenal dengan kekayaan akan hasil lautnya. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana produk-produk Kampung Jahit itu akan terjual?

Hal yang sama pun pernah diaminkan oleh Praktisi bisnis yang menjabat sebagai Komisaris Garuda Indonesia, Donny Oskaria tahun 2016 lalu. Lewat entrepreneur.bisnis.com, Donny menilai bahwa jarang sekali pengusaha Minang di Sumatera Barat yang mampu mempertahankan usahanya lebih dari dua generasi. 

Menurutnya, penyebab utama hal itu terjadi adalah akibat terlambatnya melakukan perpindahan dari bentuk bisnis konvensional yang bertumpu pada keahlian individual menjadi perusahaan yang dikelola secara profesional. 

Tapi bermodal doa yang tak putus, dan usaha yang terus, semangat yang tidak tergerus, serta dukungan suami yang bagus, Elsa memutuskan untuk lanjut. Mengeluarkan modal sebesar Rp 3jt dan memulai perjalanan bisnis fashion berbasis modest fashion wanita dan menantang keraguannya. 

Tantangan dan pilihan untuk bertahan 

Tentu bukan hal yang mudah memulai bisnis hanya dengan modal Rp 3jt saja, namun penting untuk digarisbawahi, bahwa tak mudah bukan berarti tidak bisa. Tergantung kemauanmu saja. 

Elsapun merasakan hal yang sama. Dengan modal sekecil itu, tantangan pertama yang harus ia hadapi adalah kesulitan mencari penjahit yang mau diajak bekerjasama dengannya di Kampung Jahit. Hal ini karena tukang jahit tidak mau diupah di bawah standard Jawa. 

Di awal usahanya, ia bahkan hanya berhasil menjual 30 potong baju saja atau sekitar Rp 5jt per bulannya. Ia pun kadang harus berhadapan dengan kain yang ternyata luntur, rusaknya kain karena penjahitnya yang masih belajar, dan tantangan lainnya yang terus berdatangan. 

Sebenarnya mengingat banyaknya tantangan yang harus dihadapi, Elsa bisa saja mundur dan kembali ke bisnis awalnya yang sudah meroket. Namun, karena niatnya tidak sekedar bisnis, tapi juga bisnis social-entrepreneur, ia memutuskan untuk mengambil pilihan lainnya. Pilihan untuk maju dan terus bertahan. 

Berdayakan perempuan difabel dan ibu rumah tangga

Para Ibu rumah tangga Kampung Jahit | Foto: Inisurabaya

Warga Simpang Koto Tingga didominasi kuli bangunan, pemecah batu karena banyaknya kali di sana, petani serta Ibu rumah tangga. Mata pencaharian ini sudah lebih dari cukup untuk mendeskripsikan bagimana penghasilan pagi-petang itu jadi pegangan dan makanan sehari-hari bagi masyarakat setempat. 

Sebagaimana tujuan awalnya yang ingin menyejahterakan warga Simpang Koto Tingga, Elsa melibatkan para perempuan yang juga berprofesi sebagai Ibu rumah tangga di sana. 90% pekerjanya adalah perempuan. 

Ia memberikan keleluasan bagi para perempuan tersebut untuk menjahit dari rumah sehingga tetap bisa memberikan perhatian terhadap anak dan keluarga atau bahasa bekennya sekarang work from home (WFH), menghasilkan dari rumah tanpa harus meninggalkan tanggungjawab di rumah dengan tetap mengikuti SOP dan kualitas sesuai standar yang sudah ditetapkan.

Adaptasi pola kerja ala Elsa ini nyatanya tak melulu hanya bisa diterapkan di dunia perkantoran, pun di dunia usaha rumah tangga nyatanya bisa dilangsungkan. Kolaborasi apik industri konvensional dengan kemampuan digital yang akhirnya mengangkat derajat sejumlah ibu rumah tangga ini patut diacungi jempol.

Tidak hanya ibu rumah tangga, Elsa juga membuka peluang serupa bagi perempuan disabilitas daksa. Meski hanya memiliki satu kaki, pekerjanya tersebut rupanya tak kalah semangat menjahit dari pekerja yang lainnya. Padahal, tidak ada pendampingan khusus bagi pekerja disabilitas tersebut. 

Tak ingin mengorbankan para pekerjanya, Elsa juga memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan para perempuan tersebut lewat kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Padang untuk gerakan kesehatan pekerja perempuan.

Kampung Jahit Elsa Maharrani, menembus dunia lewat karya bersama ibu rumah tangga

Karya tangan Kampung Jahit dikenakan selebriti papan atas | Foto: Instagram @maharrani.official

Dan kini, siapa sangka karya yang diproduksi oleh tangan-tangan ibu rumah tangga itu, telah digunakan oleh selebriti papan atas Indonesia, berdiri kokoh di berbagai kota di Indonesia, serta mejeng pula hingga ke mancanegara.

Pintu usaha yang dibuka oleh Elsa dan suami, dan penerimaan yang baik oleh masyarakat setempat akhirnya berhasil mengantarkan Maharrani Hijab dari yang semula ragu-ragu sampai akhirnya tahun 2023 berhasil memiliki 74 tim produksi dan marketing. Belum lagi agen dan reseller dari Aceh sampai Papua.

Sebagai penikmat sosial media, bila kamu mengikuti akun @maharrani.official, kamu akan lihat sendiri bagaimana pertumbuhan brand ini terus melesat tajam dengan jumlah pengikut mencapai 60K di Instagram. 

Kamu juga akan dibuat terpesona dengan desain baju dan hijabnya yang ciamik, pengambilan visual yang profesional, latar belakang foto yang sangat siap, hingga model yang digandengpun bukanlah model abal-abal yang tentu tidak bisa ditangani oleh hanya satu atau dua pekerja saja. 

Artinya, pertumbuhan brand Maharrani Hijab yang lahir dari Kampung Jahit bukan hanya bertumbuh dari jumlah produknya namun juga jumlah pekerjanya. Yang berarti impian untuk membuka 1.000 lapangan kerja baru yang jadi cita-cita Elsa mungkin saja terwujud tak lama lagi. 

Tidak berhenti sampai di sana, berawal dari ikutan Malaysia International Halal Showcase pada tahun 2022, produk Maharrani Hijab bahkan sudah mejeng di salah satu mall di Malaysia. 

Perjalanan panjang Elsa ini membawa kita pada kesimpulan, bahwa ia tidak hanya berhasil melahirkan Kampung Jahit, ia juga berhasil mengalahkan keraguan dan melawan tantangan sampai akhirnya berhasil pula memberdayakan disabilitas dan ibu rumah tangga untuk tetap berkarya, ia pun turut berkontribusi menyelamatkan sejumlah orang yang terlibat dan atau berpotensi terlibat dengan narkoba mengingat posisi lokasi yang bersisian dengan jalur transit barang haram tersebut. 

Niat baiknya disambut ramah oleh semesta, diterima dengan baik oleh para pekerja dan bisa berkarya bersama dengan baik, diupayakan sebaik-baiknya oleh inisiatornya, sampai akhirnya siapa sangka, Maharrani Hijab karya ibu-ibu rumah tangga itu kini dipakai pula oleh selebriti papan atas Indonesia bahkan berhasil menembus pasar internasional. 

"Semua berawal dari mimpi. Mimpi yang dipikirkan, lalu diucapkan dan diperjuangkan. Itulah kenyataan." - Elsa Maharrani

Post a Comment

0 Comments